Minggu, 20 Februari 2011

Cerpen: Pistol Tua

pistol-tuaGelap seakan tidak mau beranjak dari langit kota ini. Mendung subuh tadi hanya menyanding mentari tanpa mau bergegas meninggalkannya, untuk sekedar menunjukkan keperkasaannya pada bumi di pagi hari yang lengang, mencekam dan membuat bulu roma siapapun merinding bila di situasi seperti ini.
Seharusnya ketika mentari sudah mulai merangkul pagi bersamanya, orang-orang yang telah semalaman beristirahat, dapat memulai aktivitasnya lagi dengan lebih semangat. Namun setiap mata yang kutangkap selalu sembab. Raut muka kelelahan yang menyiratkan kesedihan, ketertundukan dan kepasrahan akan hidup seakan selalu meriasi setiap sudut bagian wajah itu. Pandangan yang tertunduk, bibir kelu menambah ketidak kuasaan wajah untuk menutupi semua yang telah terjadi. Bila memang benar wajah merupakan jendela jiwa maka seakan-akan wajah-wajah itu mengatakan
“Jangan kau lihat aku bila kamu tidak ingin ikut tenggelam dalam kesedihan.”
Dalam setiap situasi yang menyedihkan jangan khawatir kalau tidak ada sedikit celah untuk menghiburmu. Atau dalam gurun pasir yang luas, tandus, gersang, jangan takut bila tidak ada tawaran kesegaran. Seperti halnya ketika dalam kesulitan yang seakan-akan melilit seluruh tubuh, jangan pernah putus asa karena pasti ada  sepotong pisau untuk memotong tali itu, walau hanya pada bagian hidungmu untuk sekedar bernafas.
Hero yang selalu ada dalam setiap kesedihan, perjuangan hidup dan peperangan yang memaksa kita untuk bertempur bukan orang lain, tapi tampaknya apa yang ada dalam hati kita. Kepercayaan diri dan kobaran semangat itulah yang menjadikan lintasan bagi setiap jalan yang tadinya pekat, pisau tajam bagi lilitan yang sebelumnya tidak pernah bisa tertembus oleh apa pun.
Sinar keperkasaan itu, hari ini dapat aku temukan dalam wajah seorang kolonel yang berdiri tegak diujung pintu penampungan ini. Dari lipatan-lipatan kulit yang ada di wajahnya, menunjukkan kalau sebenarnya dia sudah tidak muda lagi. Sebutan kakek sudah pantas dia sandang. Tetapi karena tanggung jawab, jiwa mudanya kembali bangkit. Semangat seorang  mantan pejuang perang ini masih subur, belum sedikit pun padam dalam dirinya. Walaupun aku tahu sebenarnya kepedihan sempat menghampirinya dalam dua hari yang lalu. Aku mengetahui dengan jelas tragedi yang sangat mengerikan itu. Karena aku yang selama ini hanya menjadi barang simpanan dalam keluarga kolonel, hari itu kembali difungsikan.
Malam itu sebenarnya berjalan seperti biasa, banyak orang yang masih lewat di jalanan depan rumah. Terutama suara gelak tawa anak-anak yang baru pulang belajar mengaji dari surau dekat rumah masih terdengar cukup keras. Tetapi tiba-tiba lima manit kemudian suara tersebut berganti dengan teriakan ketakutan. Kolonel yang saat itu sedang bercengkerama dengan istrinya diruang tengah sambil minum kopi, terhenyak kaget dan berlari kedepan rumah.
Ternyata sudah terlihat jelas di ujung jalan segerombolan warga membawa clurit, parang, kayu, dan batu berlari kearah desa kami. Entah apa yang sebenarnya terjadi, kolonel yang sejak mendengar teriakan tadi mengambil aku dari laci, membawa masuk istrinya dan keluar lewat pintu belakang. Belum sampai jauh berlari keluar rumah, ibu sudah terjatuh, kepalanya terkena batu nyasar yang dilemparkan oleh salah satu dari gerombolan tersebut. Usia yang telah lanjut rupa-rupanya telah membatasinya untuk dapat berlari kencang.
Serbuan mendadak itu rupa-rupanya telah membuat kolonel kebingungan apalagi melihat kondisi istrinya yang sekarang sudah berlumuran darah membuatnya cukup tergoncang. Kalau di masa penjajahan dulu sudah jelas siapa yang harus dilawan, tetapi untuk sekarang siapa yang salah, dan siapa yang harus dilawan sangat kabur. Tetapi kalau tidak melawan nyawa sendiri yang menjadi taruhannnya, dengan sikap yang cukup bijak kolonel memfungsikan aku dengan mengarahkan moncongku ke udara. Pelatukku siap ditekan dan “Dor”
Bunyi tembakan terdengar keras diangkasa, sesaat gerombolan itu berhenti berlari dan mulai mundur. Melihat situasi itu kolonel membopong istrinya berlari menjauh ketempat yang lebih aman. Kolonel sebenarnya mempunyai 3 orang anak. Namun rupa-rupanya dengan kondisi daerah yang tidak mendukung bagi karier mereka, anak-anak yang telah kesemuanya berumah tangga memilih berhijrah keluar pulau. Kolonel memang sebenarnya bukan berasal dari daerah ini. Dia berasal dari pulau jawa, yang tidak pernah menyebutkan nama kotanya. Mungkin karena sempat mempunyai kenangan pahit, saat terjadinya pergolakan merebut kemerdekaan. Kolonel sendiri yang saat itu sempat menjadi tawanan perang, dibuang ke pulau ini.
Akhirnya kami sampai disemak-semak hutan yang gelap. Yang terdengar hanya erangan kesakitan dan nafas kolonel yang terus memburu.
“Rasanya aku sudah tidak kuat pak”
Sambil menyangga kepala istrinya, kolonel tersebut hanya bisa diam terpaku melihat wajahnya yang sedang diabang maut.
“Kalau memang sesuatu terjadi padaku, anggap saja kalau ini semua adalah sebuah cobaan belaka.”
Tiba-tiba ada setetes air mata keluar dari pelupuk mata kolonel.
“Sabarlah istriku, sebentar lagi pagi sudah datang dan kita bisa ke puskesmas terdekat.”
Karena darah yang mengucur dari kepala terlalu banyak, akhirnya sebelum sampai puskesmas, istri kolonel sudah meninggal dunia. Kolonel tidak sempat menghubungi anak-anaknya karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu mungkin takut keadaan akan bertambah parah.
Seorang diri sudah sang kolonel dipulau ini, seperti pertama kalinya dia datang kesini. Hidupnya tak lepas dari situasi peperangan, entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang, tatapannya yang tidak pernah gentar, menunjukkan dialah seorang kolonel sejati dari zaman penjajahan kompeni sampai sekarang zaman pertarungan ideologi.
Aku sendiri tidak menyangka menjadi berpindah kepemilikan ke tangan kolonel ini. Aku dulu milik seorang saudagar kaya raya dari melayu. Umurku memang sudah lama sekali hampir 120 tahun yang lalu. Setiap pedagang saat itu minimal mempunyai dua atau empat pengawal yang bertubuh kekar. Yang setia mengikutinya kemanapun tuannya pergi. Karena tak jarang saudagar-saudagar tersebut melakukan perjalanan yang cukup jauh, berlayar dari pulau satu kepulau lainnya. Sehingga senjata untuk melindungi diri dan harta bendanya sangat dia perlukan. Aku dulu jarang sekali digunakan oleh empunya diriku. Karena pengawal-pengawalnya sudah cukup mampu mengatasi keadaan kalau perampokan tiba-tiba terjadi.
Sampai pada akhirnya ketemu dengan kolonel yang sedang menjalani masa pembuangan di pulau ini. Kolonel yang saat itu sedang tidak mempunyai harta benda satu pun meminta pekerjaan kepada sang saudagar melayu. Dari situlah perkenalan dengan saudagar melayu kaya raya mulai terjalin. Hubungan antara tuan dan buruh terjalin dengan baik. Karena sang kolonel memang tipe seorang spekerja keras. Hingga akhirnya ketika sang saudagar hendak kembali ke negeri asalnya, dia hanya dapat memberikan kenang-kenangan sebuah pistol yang tidak lain adalah aku sendiri, dengan hanya diberi lima peluru didalamnya. Entah apa maksud dari sang saudagar memberi kolonel kenang-kenangan sebuah pistol.
Untunglah sang kolonel memang seorang yang tepat untuk diberi sebuah pistol. Dia tidak pernah menggunakan aku, seperti sang saudagar memperlakukan aku dulu. Kolonel hanya memfungsikan aku tidak lebih hanya sebuah benda kenang-kenangan dari seorang sahabat yang harus dijaga dan dirawat. Namun sejak kejadian kemarin ternyata aku bukanlah sebuah benda yang hanya mengingatkan akan sebuah kenangan ke masa lalu. Tetapi aku telah menjadikan pemiliknya mempunyai rasa percaya diri akan ancaman musuh. Dan menjadikannya tetap tidak mundur dalam situasi konflik.
Tetapi aku sendiri ngeri jika harus membayangkan, aku melukai seseorang yang tidak bersalah. Aku akan bangga jika aku dapat membantu Negara yang sedang terjajah menuju kemerdekaannya. Aku akan sangat senang peluruku menembus perut-perut para koloni yang telah memakan hak hidup rakyat.
Bagaimana jika nanti peluruku mengucurkan darah dari perut-perut orang bumi pertiwi ini?
Bagaimana jika peluruku nanti menembus dinding-dinding kulit seorang bapak yang ditunggu istri dan anak-anaknya di rumah?
Bagaimana jika tiba-tiba peluruku mengenai kepala anak-anak yang sedang berangkat sekolah untuk mengejar impian-impiannya?
Atau seorang ibu hamil yang sedang menanti kelahiran anaknya?
Walau aku hanya sebuah pistol tua yang tidak sedasyat ledakan sebuah rudal Yakhont buatan Rusia, atau rudal Harpoon yang biasanya sering digunakan AS untuk menghalau siapapun yang mencoba menghalangi misinya. Namun kalau sampai ada peluru yang keluar dari moncongku, bisa saja seorang istri akan menjadi janda. Atau sepasang kekasih akan kehilangan orang yang sangat dicintainya. Hancurkanlah aku sebelum ada orang yang kehilangan senyum dan tawanya.
Hari ini sudah terhitung tiga hari sejak kejadian kemarin, tetapi situasi tampaknya masih terasa cukup tegang, tentara dari TNI sudah mulai berdatangan. Senapan laras panjang selalu mereka bawa kemana-mana. Seolah-olah siap meledakkan setiap kepala yang akan melawannya. Rupa-rupanya konflik ini muncul karena ada sekelompok warga yang tidak puas oleh hasil pemilihan walikota di daerah ini. Selain menghancurkan kantor panitia pemilihan rupa-rupanya warga yang tidak puas juga menyerang daerah simpatisan partai terpilih, kebetulan memang di desa kolonel ini sebagai basis utama.
Suasana kembali tegang ketika tiba-tiba ada seorang anak yang lari dengan menjerit ketakutan. Rupa-rupanya diperempatan jalan sebelum masuk desa kami sedang terjadi lagi pertikaian antar waraga. Kolonel mendengar keterangan dari anak tersebut langsung lari kearah terjadinya konflik. Rupa-rupanya suara teriakan kembali menyelimuti pertikaian tersebut. TNI yang ditugaskan untuk mengamankan hanya bisa menggunakan tembakan peringatan. Kolonel saat itu sudah mulai mengeluarkan aku dari sakunya.
Bila bisa aku mengatakan,”Tolong jangan paksakan aku untuk membunuh sesame teman, sahabat, kerabat, suku yang selama ini telah senasib dalam Negara ini. Hancurkan saja aku biar darah tidak mengucur lagi ke bumi pertiwi….biarlah aku hanya menjadi pistol tua sebagai pajangan dari sebagian koleksi dari seorang kolektor.”
Senja kembali menaungi langit sore ini. Menghantarkan sore pada malam dan menunjukkan waktu bagi burung-burung untuk kembali ke sarangnya. Waktu memang tidak kenal kompromi sesaat saja kita lengah maka jangan samapai menyesal jika dia telah merenggutmu. Tak kusangka semua berakhir setragis ini kolonel, kamu mengabulkan doaku tetapi sebaliknya kamu sendiri yang terluka. Sebilah pisau telah mengucurkan darah dari lehermu. Lemparan-lemparan benda tajam memang sesaat tidak bisa dihentikan. Dan ternyata itulah akhir dari hidupmu. Menjadi korban kesalahpahaman yang tidak akan mengharumkan namamu, seperti bila kamu gugur dimedan perang. Semuanya hanya sia-sia….
Akupun belum ditemukan oleh siapapun karena langit hitam sudah menyelimuti kota ini. Malam ternyata sudah beraksi, dan bintang hanya menunduk malu, dan aku tahu masih ada empat peluru di dalam diriku.

sumber :http://www.jelajahbudaya.com/kabar-budaya/cerpen-pistol-tua-2.html

Jumat, 18 Februari 2011

Kebudayaan Suku Baduy


Suku Baduy atau disebut juga Orang kanekes, adalah sekelompok orang dengan Adat sunda yang tinggal di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Sebelum masuk ke wilayah baduy ini kita akan melewatitembok pembatas antara daerah baduy dengan ‘dunia luar’ setinggi 3 meter yang berisi peta wilayah baduy. Nama  Baduy itu sendiri adalah sebutan yang berawal dari peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah). Selain itu nama Baduy juga mungkin karena adanya sungai Baduy dan Gunung Baduy yang terdapat di wilayah utara. Namun, suku Baduy sendiri lebih senang disebut dengan orang “kanekes”, karena Sesuai dengan nama wilayah atau kampung mereka.

            Suku Baduy itu sendiri dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Baduy Luar atau Urang Panamping, Baduy dalam atau Urang Tangtu, dan  Baduy Dangka.

Baduy Luar atau Urang Panamping tinggal di sebelah utara Kanekes. Dalam berbusana, Pakaian laki-laki suku Baduy Luar adalah baju kampret berwarna hitam dengan ikat kepala berwarna biru tua bercorak batik. Potongan bajunya menggunakan kantong, kancing, dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Biasanya, jika mereka hendak bepergian selalu membawa golok yang diselipkan di balik pnggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang disandang di pundaknya. Sedangkan untuk pakaian wanitanya menggunakan sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Saat akan bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Suku Baduy menenun sendiri pakaian yang mereka kenakan dari mulai baju, kain sarung, kain wanita, selendang, dan ikat kepala. Dan menenun itu sendiri dikerjakan oleh kaum wanita pada saat setelah panen. Semua hasil tenunan tersebut tidak dijual namun dipakai sendiri. Sedangkan kaum pria juga membuat kerajinan diantaranya membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.

Baduy Dalam atau Urang Tangtu tinggal di bagian selatan Kanekes. suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Dalam berbusana, Pakaian laki-laki suku Baduy Dalam adalah baju jamang sangsang berwarna putih alami dan biru tua dengan ikat kepala berwarna putih serta membawa golok yang diselipkan di balik pinggangnya dan juga membawa tas kain atau tas koja yang disandang di pundaknya. Pakaian yang mereka kenakan tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki dan tidak membawa uang. Mereka juga tidak bersekolah, huruf yang mereka ketahui hanya Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan sarana dari luar. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.


 v  Baduy Dangka tinggal di luar wilayah kanekes, dan pada saat ini hanya tersisa dua kampung yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

            Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi dan Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren karena didaerah sana banyak pohon aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.

                                      Lumbung Padi (tempat menyimpan beras)
Rumah mereka dibangun diatas batu karena menurut kepercayaan mereka bahwa rumah harus berdiri di atas batu supaya kokoh.
                                               Jembatan Bambu yang mereka buat.







           Kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy adalah Sunda Wiwitan. Di dalam Baduy Dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali.

            Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat yang mutlak dianut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Baduy tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikitmungkin:

“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

          Suku Baduy dipimpin oleh kepala suku yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap Jaro memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yaitu : Jaro Tangtu,  Jaro Dangka,  Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga Tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro Dangka bertugas menjaga,  mengurus,  dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro Dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang Jaro Tangtu disebut sebagai Jaro Duabelas. Pimpinan dari Jaro Duabelas ini disebut sebagai Jaro Tanggungan. Adapun Jaro Pamarentah yang bertugas sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh Pangiwa, Carik, dan Kokolot Lembur atau Tetua Kampung.

=> kita harus lestarikan kebudayaan yang berada di negeri kita ini supaya tidak punah,, kalau bukan kita siapa lagi,, cintai negeri kita sendiri..  ^.^

sumber  :