Suku Baduy atau disebut juga Orang kanekes, adalah sekelompok orang dengan Adat sunda yang tinggal di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Sebelum masuk ke wilayah baduy ini kita akan melewatitembok pembatas antara daerah baduy dengan ‘dunia luar’ setinggi 3 meter yang berisi peta wilayah baduy. Nama Baduy itu sendiri adalah sebutan yang berawal dari peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah). Selain itu nama Baduy juga mungkin karena adanya sungai Baduy dan Gunung Baduy yang terdapat di wilayah utara. Namun, suku Baduy sendiri lebih senang disebut dengan orang “kanekes”, karena Sesuai dengan nama wilayah atau kampung mereka.
Suku Baduy itu sendiri dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Baduy Luar atau Urang Panamping, Baduy dalam atau Urang Tangtu, dan Baduy Dangka.
Baduy Luar atau Urang Panamping tinggal di sebelah utara Kanekes. Dalam berbusana, Pakaian laki-laki suku Baduy Luar adalah baju kampret berwarna hitam dengan ikat kepala berwarna biru tua bercorak batik. Potongan bajunya menggunakan kantong, kancing, dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Biasanya, jika mereka hendak bepergian selalu membawa golok yang diselipkan di balik pnggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang disandang di pundaknya. Sedangkan untuk pakaian wanitanya menggunakan sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Saat akan bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Suku Baduy menenun sendiri pakaian yang mereka kenakan dari mulai baju, kain sarung, kain wanita, selendang, dan ikat kepala. Dan menenun itu sendiri dikerjakan oleh kaum wanita pada saat setelah panen. Semua hasil tenunan tersebut tidak dijual namun dipakai sendiri. Sedangkan kaum pria juga membuat kerajinan diantaranya membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Baduy Dalam atau Urang Tangtu tinggal di bagian selatan Kanekes. suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Dalam berbusana, Pakaian laki-laki suku Baduy Dalam adalah baju jamang sangsang berwarna putih alami dan biru tua dengan ikat kepala berwarna putih serta membawa golok yang diselipkan di balik pinggangnya dan juga membawa tas kain atau tas koja yang disandang di pundaknya. Pakaian yang mereka kenakan tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki dan tidak membawa uang. Mereka juga tidak bersekolah, huruf yang mereka ketahui hanya Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan sarana dari luar. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
v Baduy Dangka tinggal di luar wilayah kanekes, dan pada saat ini hanya tersisa dua kampung yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi dan Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren karena didaerah sana banyak pohon aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Rumah mereka dibangun diatas batu karena menurut kepercayaan mereka bahwa rumah harus berdiri di atas batu supaya kokoh.
Kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy adalah Sunda Wiwitan. Di dalam Baduy Dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali.
Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat yang mutlak dianut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Baduy tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikitmungkin:
“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Suku Baduy dipimpin oleh kepala suku yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap Jaro memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yaitu : Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga Tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro Dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang Jaro Tangtu disebut sebagai Jaro Duabelas. Pimpinan dari Jaro Duabelas ini disebut sebagai Jaro Tanggungan. Adapun Jaro Pamarentah yang bertugas sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh Pangiwa, Carik, dan Kokolot Lembur atau Tetua Kampung.
Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat yang mutlak dianut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Baduy tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikitmungkin:
“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Suku Baduy dipimpin oleh kepala suku yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap Jaro memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yaitu : Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga Tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro Dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang Jaro Tangtu disebut sebagai Jaro Duabelas. Pimpinan dari Jaro Duabelas ini disebut sebagai Jaro Tanggungan. Adapun Jaro Pamarentah yang bertugas sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh Pangiwa, Carik, dan Kokolot Lembur atau Tetua Kampung.
=> kita harus lestarikan kebudayaan yang berada di negeri kita ini supaya tidak punah,, kalau bukan kita siapa lagi,, cintai negeri kita sendiri.. ^.^
sumber :